Entri Populer

Powered By Blogger

Sabtu, 30 Mei 2009

Lereng lawu, Magetan

MAGETAN, kota kecil seupil merupakan kota mati, terletak di perbatasan jawa tengah dan jawa timur. Banyak orang ga tahu menahu tentang kota Magetan ini, banyakan tahunya Magetan bagian dari Madiun, malah ada yang bilang, Magetan tu deket jogja… itu mah MAGELANG atuh neng. Ada juga yang bilang Magetan itu Manhattan di amrik sono (itu kata gue).

Magetan termasuk kota pegunungan, hawanya sangat sejuk, jarang ada polusi karena ini hanyalah sebuah kota kecil yang masih jarang penduduknya. Dinginnya seperti di Puncak Bogor, ya kira – kira gitu, gue sendiri belum pernah ke puncak bogor, cuma baru liat dari tipi. Di sini sering ujan aer, ga pernah ujan duit, cuacanya sangatlah ekstrim, sering berubah sewaktu – waktu. Langit yang biru sering tiba - tiba menjadi hitam, coba saja jika kamu melihat langit sambil menutup kepala dengan kantung kresek. Ketika gue nyuci kancut Magetan sering ujan, ketika gue ga nyuci kancut, panas membara. Mungkin cuaca disini ga matching dengan kancut gue. Pawang ujan dan produser acara ramalan cuaca nasibnya bergantung pada gue, hari itu nyuci kancut apa tidak. Betapa simbiosis mutualisme antara gue dan kota magetan ini begitu hebatnya.

Di Magetan belum ada gedung bertingkat yang menjulang menembus cakrawala. Gedung paling tinggi adalah kandang burung dara punya temen gue. Sayang karena ga pernah dirawat dan direnopasi gedung itu hancur padahal tidak ada pesawat yang dibajak teroris menghantamnya. Sangat sulit menemukan variasi hiburan disini. Di Magetan ga ada bioskop, Dulu ada sih, cuma sudah bangkrut. Karena saking sepinya orang yang nonton di bioskop. Pelem yang terakhir gue tonton di Bioskop adalah Titanic. Itupun gue nonton midnight pake acara sembunyi – sembunyi. Karena termasuk rating pelem dewasa, untuk beli tiket gue nitip kakak temen gue. Sudah pake acara sembunyi – sembunyi nonton bioskop, ternyata yang duduk di kursi sebelah adalah tetangga gue sendiri. Ketika di layar tampak adegan yang belum pantas dilihat, tetangga gue nutupin mata gue pake kedua tangannya. SIAL. Padahal itu tontonan yang bagus bagi gue yang masih dalam tahap pertumbuhan.

Mall dan sejenisnya belum begitu menggila(memang tidak ada saudara – saudara), membuat gue kesulitan untuk menemukan tempat hang out cewek – cewek korban hedonisme yang modis dan gaul. Hasrat bernarsis ria harus senantiasa ditahan demi kelangsungan hidup yang berkepanjangan. Keadaan demikian harus ditambah dengan tingginya gengsi cewek – cewek ABG di kota ini. Gue yang sudah berusaha melancarkan serangan gerilya, sering mendapatkan hasil nihil. Bukannya gue sering ditolak, gue belum nembak cewek, eh ga ada asap, ga ada api itu cewek – cewek udah punya bodyguard sendiri – sendiri. Gue salah strategi, karena terlalu sering bertahan ala catenaccio Italia daripada menyerang frontall dengan total football ala BElanda. Bisa juga gue kalah dukun(karena gue ga mampu nyewa2 dukun), tapi yang pasti gue kalah ganteng dan kalah penampilan. Inilah cerita pecundang yang kalah sebelum terjun ke medan perang. Gue sudah beranjak tua, badan sering encok dan muka mulai keriputan.

Pasar tradisional masih menjamur, di dalamnya terdapat ratusan pedagang kecil yang berebut nafkah setiap harinya. Tanda – tanda kehidupan hanya berputar setengah hari, jam 8 malam Kota ini serasa kuburan, jalan kota lengang, lampu kota sebagian dimatikan demi penghematan, hanya menyisakan penjual bensin eceran dan warung kopi kaki lima bertebaran di setiap emperan. Warung kopi disini masih tradisional, kursinya bukan sofa dan tidak ada fasilitas hot spot an. Dari warung kopi beneran maupun warung kopi plus plus, plus teh anget, plus wedang jahe dan stmj yang nampak hanya laki – laki, makhluk batangan.

Tidak adanya sarana pendidikan setingkat universitas membuat keadaan semakin stagnan. Anak sekolah yang sudah lulus SMA kebanyakan mencari penghidupan di kota – kota besar. Gue yang dari dulu ngendon di kota ini mulai dilanda kebosanan akut. Teman – teman satu persatu mulai menghilang, Balik ke Magetan udah pada berkeluarga dan mempunyai gebetan, tinggal gue sendirian, gue yang masih berumur 20an ditambah muka boros terlihat kebapak – bapakan.

Tempat paling dikenal di Magetan adalah Sarangan, sebuah danau alami yang terbentuk dari pertempuran 2 ekor naga. Kenapa mereka bertempur? Nah itu, jika kamu tanya gue, gue tanya siapa. Yang pasti mereka bertempur bukan karena mengikuti smack down. Pemandangan di Sarangan sangat indah, jika kamu merasa kejauhan bertamasya ke danau toba, Sarangan adalah alternatifnya. Cuma mungkin disini kamu akan sulit menemukan orang batak. Jika kalian bukan sepasang suami istri, jangan pernah jalan berduaan, akan sulit membedakan mana sepasang manusia dan mana yang seekor kuda, karena sama - sama mempunyai 4 buah kaki. Itu penting! Buat yang berduaan akan mendapat rayuan yang lebih gombal dari para calo pemilik tempat penginapan. Sekali menginap, sekali percobaan, mungkin cukup untuk membuat seorang cewek menambah berat badan(baca : hamil alias tek dung).

Di jalur Sarangan pula kita bisa melihat becak lawu, sejenis kendaraan tradisional yang digunakan warga sekitar untuk mengangkut hasil sawah dan kebunnya. Becak lawu ini unik karena mempunyai 4 roda, tidak seperti becak lain yang hanya beroda 3. Selain itu banyak yang memodif becak lawunya menjadi semacam mobil F1. Setiap malam minggu seringkali becak lawu ini turun ke kota secara beramai – ramai, sungguh pemandangan yang ga kalah serunnya dengan sirkuit Sepang malaysia.

Penduduk asli Magetan adalah suku Jawa yang terkenal ramah dan halus perangainya. Selalu tersenyum kepada setiap orang yang ditemuinya(gue banget deh). Apalagi di gerbang perbatasan kota, kamu akan terheran – heran, ada yang sukarela stand by 24 jam menyambut kedatangan kita dengan senyumnya yang ramah. Hujan deras, panas terik dia tetap tegar tersenyum. Kamu jangan sekali - sekali sampai naksir berat, Cewek – cewek bersiaplah patah hati, itu bukan orang, itu bukan penampakan, itu patung selamat datang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar