Entri Populer

Powered By Blogger

Jumat, 29 Mei 2009

Pasar Wisata Plaosan

TIAP hari, kegiatan Pasar Umum Plaosan, di Kecamatan Plaosan-kecamatan di kaki Gunung Lawu, arah barat Kota Magetan-dimulai sekitar pukul 03.30 pagi. Saat banyak warga lain masih nyenyak, tidur “dibalut” dinginnya pagi, ribuan wanita petani sayur-mayur, dan wanita pedagang, sudah berjual-beli sayuran.

Hawa dingin di Plaosan yang suhunya berkisar antara 18-25 derajat Celcius, tak menghalangi para perempuan, yang sudah setiap hari bertani dan menjual sayurannya ke pasar. Mereka yang rumahnya tak begitu jauh, sekitar satu hingga lima kilometer dari pasar, membawa sayurannya dengan keranjang bambu. Mereka, ada yang berjalan kaki, namun tak sedikit pula yang naik ojek.

Bagi yang tinggal jauh dari pasar, membawa hasil taninya dengan naik mobil bak terbuka. Sumirah, warga Desa Pacalan yang jaraknya 30 kilometer lebih dari Pasar Plaosan, adalah salah seorang yang tiap pagi membawa ubi jalar, tomat, dan kubis, dari desanya. “Kulo pun mboten kelingan, kawit tahun pinten. Pokokipun kawit kulo alit (Saya tidak ingat sejak tahun berapa mulainya. Yang jelas sejak saya masih kecil-Red),” tutur perempuan berusia 50-an tahun itu kepada Kompas, Minggu (21/10) pagi.

Pada Minggu pagi sekitar pukul 05.00 itu, hasil tani yang dibawa Sumirah dan kawan-kawan, sudah banyak yang berpindah tangan ke para pedagang. Halaman Pasar Plaosan yang tergolong luas, dipadati sayur-mayur di segala sisi. Kebanyakan, sayur-sayuran itu hanya dialasi terpal atau kertas koran bekas, dan proses jual beli pun terjadilah.

Sayur yang dijual komplet macamnya. Mulai dari hijau-hijauan seperti bayam, kangkung, sawi, buncis, selada, dan kacang-kacangan, sampai tomat, bawang merah dan putih, wortel, serta kentang. Seluruh wanita, baik dari kalangan petani sayur maupun pedagang, tampak sangat sibuk. Setidaknya, itu tampak dari tidak hiraunya mereka terhadap orang yang cuma bertanya-tanya. Sebaliknya, mereka sangat tergila-gila kepada pembeli.

Sutinah, seorang pedagang sayur mengungkapkan, Pasar Plaosan memang dikenal sebagai pusat sayur-mayur di Magetan. “Pedagang-pedagang sayur di pasar-pasar di Kota Magetan, banyak yang beli sayur di sini, untuk dijual di bawah (kota-Red). Dari dulu, kalau orang cari sayur, ya, di sini,” tuturnya.

Ia mengisahkan, saat ini panen sayur di Plaosan, kurang begitu bagus. Sehingga, harga sayur di pasaran relatif naik. Harga selada air misalnya, yang tadinya Rp 250 per ikat, kini laku dijual seharga Rp 500 per ikat. Bayam, yang sebelumnya Rp 100 per ikat, bisa menjadi Rp 200 per ikat.

Biasanya, sejak pukul 03.30 hingga pukul 07.00, pedagang masih boleh menggelar dagangannya di halaman pasar. Namun, di atas pukul 07.00, mereka harus masuk ke tempat dasaran di dalam pasar. “Saya biasanya pulang nanti jam 12 atau jam 1 siang. Tergantung kapan sayuran ini habis,” ujarnya.

***

SELAIN dijual di pasar, ada juga sejumlah perempuan Plaosan yang menjadikan sebagian sayur-mayur di lahan pertanian mereka, sebagai modal untuk berjualan nasi pecel. Di kawasan wisata Telaga Sarangan, yang termasuk wilayah Kelurahan Sarangan, Kecamatan Plaosan, puluhan wanita penjual nasi pecel gendongan, menawarkan dagangannya secara door to door.

Mereka aktif mendatangi tamu-tamu hotel dan losmen di sekitar Sarangan, terutama jika pagi hari. Sunarti, warga Desa Gopakan, Kecamatan Plaosan, adalah salah satu dari mereka. Dikisahkannya, sekitar 80 orang perempuan asal desanya, berjualan nasi pecel dari hasil kebunnya sendiri.

Hampir setiap hari, para perempuan itu melintasi jalan berkelak-kelok, dan menempuh jarak 10 kilometer, dari Gopakan ke Sarangan. “Biasanya saya naik Colt angkutan umum, Rp 1.500 tarifnya,” ujar Sunarti yang berjilbab itu. Harga satu porsi nasi pecel buatan Sunarti, adalah Rp 2.500. Itu untuk harga porsi komplet, termasuk satu tempe goreng, peyek kacang, dan telur mata sapi.

Jika pengunjung Telaga Sarangan sedang ramai, ia mengaku bisa meraih keuntungan sekitar Rp 15.000. Sebaliknya, jika sedang sepi, mendapat untung Rp 7.000 saja sudah bagus. Pedagang pecel sepertinya, lanjut Sunarti, pendapatannya memang sangat tergantung ramai-sepinya wisatawan Sarangan.

Cerita tentang Sumirah yang menjual sayur hasil ladangnya ke pasar, Sutinah yang berjualan sayur-mayur di pasar, dan Sunarti yang berjualan nasi pecel dari sayur di ladangnya, menampakkan betapa kuatnya Kecamatan Plaosan di Kabupaten Magetan, sebagai sentra hortikultura di kota itu.

Kawasan Plaosan, sudah terbentuk sebagai sentra pertanian hortikultura. Bahkan, terbentuknya Plaosan itu bukan akhir-akhir ini saja, namun juga puluhan tahun lalu. Kini, bukan lagi soal menciptakan sentra itu yang menjadi masalah. Yang kini harus segera dilakukan adalah meningkatkan posisi tawar petani hortikultura, dalam menentukan harga sayur saat panen, demi meningkatnya kesejahteraan mereka.

Sudah menjadi rahasia umum, bahwa petani adalah satu-satunya produsen yang tidak mempunyai kemampuan tawar-menawar, bila berhadapan dengan pedagang, apalagi pedagang besar. Sehingga, harga sayur-mayur banyak yang tertahan di kisaran lebih rendah daripada Rp 1.000.

Pemerintah Kabupaten Magetan, yang menjadikan pertanian sayur-mayur sebagai salah satu sendi ekonomi rakyatnya, memiliki kewajiban moril untuk ikut membantu petani sayur, dalam menentukan harga yang menguntungkan bagi petani. Mampukah? Tidak ada alternatif jawaban, selain “Harus mampu”. (Agus Suharto,A.MD.Tek)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar